Senin, 22 April 2013

Wawasan Nusantara

Keanekaragaman Bangsa Indonesia & Potensi Konflik
 
Kata Pengantar
 Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyusun tugas ini dengan sebaik-baiknya. Tak lupa juga saya  ingin mengucapkan terimakasih untuk kedua orang tua saya yang telah memberikan dukungan doa serta materiil. Makalah ini saya buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dengan judul “Keanekaragaman Bangsa Indonesia dan Potensi Konflik”.
Harapan saya membuat makalah ini agar para pembaca mendapat sedikit manfaat dan mengetahui apa saja yang belum diketahui tentang Keanekaragaman Bangsa Indonesia dan Potensi Konflik .
Saya sangat mengharap kritik dan saran apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan. Saya ucapkan terimakasih untuk para pembaca yang telah membaca makalah sederhana ini.
 
Pendahuluan
  Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki keberagaman suku,agama,ras,budaya dan bahasa daerah. Indonesia meliliki lebih dari 300 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Suku bangsa merupakan bagian dari suatu negara. Dalam setiap suku bangsa terdapat kebudayaan yang berbeda-beda.selain itu masing-masing suku bangsa juga memiliki norma sosial yang mengikat masyarakat di dalamnya agar taat dan melakukan segala yang tertera didalamnya. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki norma-norma sosial yang berbeda-beda. Dalam hal cara pandang terhadap suatu masalah atau tingkah laku memiliki perbedaan. Ketika terjadi pertentangan antar individu atau masyarakat yang berlatar belakang suku bangsa yang berbeda,mereka akan mengelompok menurut asal-usul daerah dan suku bangsanya (primodialisme). Itu menyebabkan pertentangan atau ketidakseimbangan dalam suatu Negara (disintegrasi). Secara umum, kompleksitas masyarakat majemuk tidak hanya ditandai oleh perbedaan-perbedaan horisontal, seperti yang lazim kita jumpai pada perbedaan suku, ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Namun, juga terdapat perbedaan vertikal, berupa capaian yang diperoleh melalui prestasi (achievement). Indikasi perbedaan-perbedaan tersebut tampak dalam strata sosial ekonomi, posisi politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan dan kondisi permukiman.
Sedangkan perbedaan horisontal diterima sebagai warisan, yang diketahui kemudian bukan faktor utama dalam insiden kerusuhan sosial yang melibatkan antarsuku. Suku tertentu bukan dilahirkan untuk memusuhi suku lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran mana pun di Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan etnik.
Sementara itu, dari perbedaan-perbedaan vertikal, terdapat beberapa hal yang berpotensi sebagai sumber konflik, antara lain perebutan sumberdaya, alat-alat produksi dan akses ekonomi lainnya. Selain itu juga benturan-benturan kepentingan kekuasaan, politik dan ideologi, serta perluasan batas-batas identitas sosial budaya dari sekelompok etnik. Untuk menghindari diperlukan adanya konsolidasi antar masyarakat yang mengalami perbedaan. Tetapi tidak semua bisa teratasi hanya dengan hal tersebut. Untuk menuju integritas nasional yaitu keseimbangan antar suku bangsa diperlukan toleransi antar masyarakat yang berbeda asal-usul kedaerahan. Selain itu faktor sejarah lah yang mempersatukan ratusan suku bangsa ini. Mereka merasa mempunyai nasib dan kenyataan yang sama di masa lalu. Kita mempunyai semboyan Bhineka Tunggal Ika. Yaitu walaupun memiliki banyak perbedaan,tetapi memiliki tujuan hidup yang sama. Selain itu, pancasila sebagai idiologi yang menjadi poros dan tujuan bersama untuk menuju integrasi,kedaulatan dan kemakmuran bersama.
 PEMBAHASAN
  
Konflik Papua 
 
Akar konflik vertikal Papua relatif mirip Aceh, terutama karakter diametralnya dengan pemerintah pusat. Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963 berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda di New York pada 15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia atas Papua kembali ditegaskan lewat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Sejak saat itu Papua terus dilanda gejolak separatisme hingga kini. 
 
Jika di Aceh ada GAM, maka di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri tahun 1964. Manuver awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala Indonesia tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktitivitas umum OPM adalah manuver-manuver sporadis untuk menyerang pos-pos polisi dan tentara, sabotase sarana vital dan strategis seperti Freeport, menyerang transmigran, atau penghasutan massa. Esther Heidbuchel menyebutkan, konflik Papua dapat dirunut kepada faktor-faktor berikut :
  1. Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah diadakan Indonesia tatkala mengambil alih Papua dari Belanda, 
  2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang dilakukan pasukan Indonesia, utamanya dalam penegakkan hukum atas mereka, 
  3. Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat asli Papua. Ini termasuk marginalisasi sosial ekonomi mereka serta terbentuknya stereotip yang mendiskreditkan orang Papua.

Dalam perkembangan kemudian, masih menurut Heidbuchel, tersedia tiga jalan yang penyelesaian konflik. Jalan pertama adalah Merdeka, yang dimotori OPM. Komposisi mereka yang pro kemerdekaan terdiri atas rakyat biasa berpendidikan rendah, OPM, dan sebagian kecil elit terdidik Papua. Jalan kedua, pro Indonesia yang kini menduduki status quo. Kelompok ini didukung kaum migran (orang-orang dari luar Papua) yang menetap di Papua, sebagian elit terdidik Papua, dan sebagian elit pemerintah pusat. Jalan ketiga adalah Otonomi Khusus, yang didukung mayoritas elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat, komunitas-komunitas agama, dan LSM. 

Jalan ketiga, Otonomi Khusus, secara formal disepakati lewat terbitnya Undang-undang Nonmor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua yang diundangkan Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 21 Nopember 2001. Namun, kesulitan utamanya adalah realisasi amanat undang-undang ke dalam dunia nyata. Kendati punya sumber daya alam yang melimpah, Provinsi Papua tercatat sebagai provinsi termiskin di Indonesia: Alamnya kaya tetapi mayoritas penduduk aslinya miskin, bahkan sangat miskin.

Ans Gregory da Iry merilis hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang selama beberapa tahun mengadakan riset atas konflik Papua. Tim peneliti merangkum empat hal pokok yang harus dipikirkan oleh pemerintah pusat di Papua. Pertama, marginalisasi ekonomi dan tindakan diskriminatif dalam pembangunan ekonomi terhadap orang asli Papua sejak tahun 1970, yang hasilnya membuat mereka kalah bersaing dengan pendatang. Kedua, pemerintah kurang berhasil melakukan pembangunan Papua, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, belum ada kesamaan paradigma seputar sejarah integrasi Papua ke dalam Indonesia. Keempat, belum adanya rekonsiliasi serta pertanggungjawaban formal dalam kasus-kasus kekerasan atas masyarakat Papua oleh negara di masa lalu. 

Pembangunan yang timpang adalah salah satu variabel kunci yang membuat Papua terus bergolak. Padahal, UU Otonomi Khusus secara obyektif membuka ruang besar bagi rakyat Papua untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi daerahnya. Banyak kalangan di Papua menghendaki proses pembangunan yang memberi peran besar pada empat pilar kepemimpinan lokal yang terdiri atas: Pemerintah lokal, pemimpin adat, pemimpin agama, dan kaum perempuan. Komisi yang khusus menyelidiki proses penyelesaian konflik Papua bentukan pemerintah dan masyarakat sampai pada kesimpulan bahwa kunci bagi perdamaian dan kemajuan di Papua adalah penerapan secepatnya UU Otonomi Khusus Papua No. 21 tahun 2001.
 
Penyebab lainnya adalah:
  
Konflik Papua memiliki satu hal unik, yang membedakannya dengan konflik-konflik lokal lain di Indonesia. Keunikan ini adalah adanya nasionalisme Papua yang telah tertanam di dalam diri rakyat Papua selama puluhan tahun. Rasa nasionalisme tersebutlah yang mendorong rakyat Papua membenci adanya penjajahan terhadap mereka, baik yang dilakukan Belanda maupun Indonesia.
Nasionalisme Papua yang mulai ditanamkan oleh Belanda ketika didirikan sekolah pamong praja di Holandia, tertanam serta tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Ketika Belanda dan Indonesia bukanlah pihak yang diharapkan, rakyat Papua melihat keduanya sebagai bangsa yang hendak menguasai Papua. Pemikiran ini yang menyebabkan gerakan anti-Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua. Kebijakan represif pada masa Orde Baru tidak mampu memadamkan nasionalisme ini, namun justru memperkuatnya.
 
   Sejarah Konflik Papua
 
1960 - 2000
  • 1966-67: pemboman udara Pegunungan Arfak
  • 1967: Operasi Tumpas (penghapusan operasi). 1.500 diduga tewas di Ayamaru, Teminabuan dan Inanuatan.
  • Mei 1970: Pembantaian perempuan dan anak-anak oleh tentara Indonesia. Saksi melaporkan melihat seorang wanita memusnahkan, membedah bayinya di tempat dan pak bibi bayi-diperkosa.
  • Jun 1971: Bapak Henk de Mari melaporkan bahwa 55 orang dari dua desa di Biak Utara dipaksa untuk menggali kuburan mereka sendiri sebelum ditembak
  • Mei 1978: Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk menyelamatkan desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai mati dengan batang besi panas merah dan tubuh mereka dilemparkan ke dalam lubang jamban. 125 penduduk desa maka mesin ditembak sebagai simpatisan OPM dicurigai.
  • pertengahan 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel, termasuk 115 dari desa-desa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan 24/6/1985, 10 orang, desa, taman makanan, dan ternak desa Epomani, Obano Sub-distrik; 15 orang, desa, dan ternak dari kabupaten desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman makanan, dan hidup-stok Monemane. Dsb.
2000 - 2010
  • Pada tanggal 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang pada sekelompok profesor dari Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya luka-luka. Polisi menuduh OPM bertanggung jawab.
  • Pada tanggal 1 Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera separatis, beberapa tindakan lain telah terjadi 42 orang ditangkap.
  • Pada tanggal 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura menewaskan 5 orang dan beberapa orang terluka. Sementara itu, sekitar 500 militan menyerang sebuah pos polisi dengan busur dan anak panah dan bom bensin.. Polisi bereaksi dan membunuh seseorang.
  • Pada 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi penambang PT Freeport McMoran. Sembilan orang terluka, OPM menyangkal Tanggung Jawab.
    Dampak dari konflik Papua
  
Di Papua, masalah separatisme akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Bila situasi keamanan terus memburuk, banyak pengamat yang memperkirakan Papua bakal lepas dari NKRI. Tanda-tanda Papua akan segera lepas dari NKRI sudah sangat jelas. Mereka saat ini ditengarai sudah memiliki sponsor yang siap mendukung kemerdekaan wilayah di timur Indonesia ini, bahkan Papua saat ini sudah sangat siap untuk lepas dari Indonesia.
Maraknya aksi penembakan dan penghadangan oleh kelompok separatis Papua telah meresahkan masyarakat Papua. Sasaran tembak kini tidak hanya kepada aparat TNI dan Polisi, namun masyarakat umum serta karyawan Freeport kini dijadikan target. Sehingga tak mengherankan bila hampir tiap hari terjadi penghadangan dan penembakan oleh orang tak dikenal yang diyakini banyak orang adalah separatis Papua.
Penyebab separatisme Papua yang lain adalah tidak meratanya distribusi sumber daya ekonomi, sehingga meskipun Papua memiliki kekayaan yang luarbiasa, rakyatnya tetap miskin. Tambang tembaga raksasa Freeport adalah sebuah contoh bagaimana kapitalisme mengeksploitasi sumber daya lokal dengan sepuas-puasnya. Potensi konflik antar agama di Papua tinggi karena konflik yang bertikai menganggap dirinya sebagai korban. Warga Papua asli merasa terancam dengan mengalir masuknya pendatang baru yang mengatasnamakan agama baru, dimana dalam jangka panjang mereka akan menghadapi diskriminasi atau bahkan pengusiran.
Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan di kedua belah pihak masyarakat, terutama mengenai nasionalisme yang bersaing perkembangan di Manokwari dan Kaimana mungkin menjadi pertanda lebih banyak bentrokan yang akan terjadi. Perubahan dalam demografi adalah bagian dari persoalan, tapi bahkan kalau besok para pendatang dari luar Papua disetop datang, polarisasi antar agama mungkin akan terus berlanjut karena perkembangan lain. Warga Papua sangat menyadari terjadinya penyerangan-penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah di daerah lain di Indonesia dan melihat Indonesia secara keseluruhan bergerak menuju dukungan yang lebih banyak kepada ajaran agama. 
 
   Upaya Penyelesaian Konflik di Papua 
 
Hasil eksplorasi terdapat 2 kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, yaitu :
a)      Pendekatan Kekerasan
Pendekatan kekerasan dilakukan dengan menggunakan kekuatan senjata atau sering dikenal dengan istilah pendekatan keamanan dilakukan oleh militer atau ABRI untuk menumpas setiap bentuk perlawanan masyarakat yang dianggap sebagai pemberontakan OPM di Papua yang dimulai sejak awal pemberontakan tahun 1970 sampai sekitar tahun 1996. Kegiatan itu dilakukan dengan menetapkan sebagian kawasan Papua, terutama di daerah perbatasan dengan Negara Papua New Guinea, sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
b)      Pendekatan Non kekerasan
Sejak Papua masuk dalam wilayah Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka kegiatan utama yang menjadi tugas pokok dari semua petugas Indonesia Papua menggantikan posisi petugas Belanda adalah “meng-Indonesiakan” orang-orang Papua. Aktivitas ini dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti lembaga pendidikan dan lembaga penerangan. Tema yang digunakan adalah menyatakan bahwa Indonesia, termasuk Papua dijajah oleh Belanda selama lebih dari 350 tahun. Masa penjajahan itu membuat rakyat Papua seperti halnya rakyat Indonesia lainnya, miskin, tertindas, dan melarat.
Akan tetapi dalam kenyataannya kedua kebijakan pemerintah dalam upaya menyelesaikan konflik kekerasan yang terjadi di Papua tersebut berjalan tidak efektif atau tidak berhasil. Untuk itu ada beberapa-beberapa hal yang seyogiyanya dilakukan oleh pemerintah :
1.     Hindari untuk mendukung kegiatan-kegiatan berbasis agama yang jelas-jelas memiliki agenda politik, sehingga tidak memperburuk persoalan yang sudah ada, dan menginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan bahwa para personil yang bertugas di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah satu pihak.
2.     Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk menangani ketegangan antar agama di tingkat akar rumput, lebih dari sekedar kampanye dialog antar agama diantara para elit yang seringkali tidak efektif.
3.    Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan agama dilakukan secara transparan dan diaudit secara independen, dimana informasi mengenai jumlah dan para penerima dana bisa dilihat dengan mudah di situs-situs atau di dokumen publik.
4.    Menghindari mendanai kelompok-kelompok yang menyerukan eksklusivitas atau permusuhan terhadap agama lain.
5.    Memastikan debat publik mengenai persentase lapangan kerja bagi warga asli Papua dan dan dampak lebih jauh dari imigrasi penduduk dari luar Papua ke Papua sebelum menyetujui pembagian daerah administratif lebih lanjut.
6.    Menolak peraturan daerah yang diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang memarjinalisasikan orang papua.
7.    Ketujuh, Pemerintah harus memenuhi dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang papua seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraaan dan pelayanan publik.
8.   Pemerintah memfasilitasi dialog antar ummat beragama bersama rakyat Papua agar terciptanya saling percaya antara Pemerintah Pusat dan Warga Papua. Kesembilan, Pemerintah harus mengakui secara jujur bahwa selama ini bertindak dengan salah dalam mengatasi konflik yang ada di Papua demi terciptanya rekonsiliasi.
Secara teoritis, dikenal 3 sarana upaya penyelesaian konflik, yaitu : Pertama, Konsiliasi, umumnya dilakukan melalui lembaga legislatif atau parlemen yang bermaksud memberikan kesempatan kepada semua pihak yang terlibat konflik untuk berdiskusi atau memperdebatkan secara terbuka masalah yang terjadi dalam konteks mencapai kesepakatan atau kompromi bersama. Kedua, Mediasi mengajak atau mendorong kepada para pihak yang terlibat untuk kesepakatan melalui nasihat dari pihak ketiga yang disetujui. serta Ketiga, Arbitran, para pihak yang terlibat bersepakat untuk mendapatkan menunjuk wasit penilai untuk memberikan keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar dari konflik.
Jika dilihat dari aspek substansi, terdapat 4 cara atau pendekatan yang sering ditempuh oleh para pihak dalam proses penyelesaian konflik, yaitu : Pertama, Penghindaran, yaitu penyelesaian yang diharapkan timbul dengan sendirinya. Kedua, Kekuasaan. yaitu penyelesaian melalui cara paksa atau dengan penggunaan kekuatan bersenjata oleh institusi militer. Ketiga, Hukum, yaitu penyelesaian konflik melalui proses arbritase, pencarian fakta yang mengikat, proses legislasi, dan pembuatan kebijakan pejabat publik, serta Keempat, kesepakatan, yaitu penyelesaian oleh para pihak melalui proses negosiasi, mediasi, dan konsiliasi.
 
   Bentuk konflik di Papua
 
1.Konflik kelas social, karena konflik yang terjadi di Papua salah satunya terjadi akibat adanya kesenjangan social dan budaya yang ada di masyarakat Papua
2.Konflik Rasial. Paling banyak penyebab konflik di Papua adalah karena terjadinya salah paham atau penghasutan antar suku yang ada di daerah Papua
3. Konflik politik, konflik Papua salah satunya terjadi karena menyangkut dengan diskriminasi atau penggolongan-penggolongan antara rakyat biasa yang ada di Papua dengan imigran-imigran serta pejabat-pejabat pemerintah dan juga kaum elit politik.

   Argumentasi Terhadap Konflik Papua
Dari semua referensi dan catatan-catatan tentang masalah-masalah konflik yang terjadi di Tanah Papua dahulu hingga sekarang ini, kami dapat memahami latar belakang serta faktor penyebab terjadinya berbagai konflik kekerasan di tanah Papua. Umumnya kekerasan di Papua terkait dengan konflik antar warga dengan suku, separatisme, dan kriminalitas. Proses dan hasil pembangunan di Papua selama otonomi khusus belum dirasakan sepenuhnya oleh orang asli Papua, terutama di wilayah pedalaman. Sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan dan terpinggirkan. Bahkan kondisi pembangunan Papua masih kalah jauh dengan kota-kota kelas dua di wilayah Pulau Jawa.Warga Papua merasa tidak dihargai dan diabaikan.
Selain itu, minimnya sarana dan prasarana publik di daerah-daerah di Papua dan Papua Barat, kelaparan dan kondisi kurang gizi di daerah-daerah di Papua, serta rendahnya tingkat pendidikan di wilayah Indonesia bagian timur itu merupakan faktor-faktor yang berpotensi menimbulkan konflik.
Tetapi di sisi lain penyebab konflik di Papua, OPM dan sejenisnya adalah sebagai  salah satu penyebab konflik tsb. Tujuan mereka dalah menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat dan daerah serta pihak internasional bahwa Papua selalu tidak aman karena adanya OPM, ini jelas-jelas bertujuan menggagalkan ide dan keinginan luhur orang asli Papua untuk berdialog atau berdiskusi dengan pemerintah Indonesia dalam waktu dekat.
Selain itu, banyaknya peristiwa kekrasan dan konflik yang ada di Papua menandakan bahwa institusi kepolisian yang ada di Tanah Papua beserta jajaran Polres-nya di seluruh tanah papua seringkali tidak mampu mengungkapkan kasus-kasus kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua tersebut. Di tambah lagi polisi di daerah ini susah sekali mendapatkan barang bukti yang bisa menjadi petunjuk penting dalam mengungkapkan sebab dan siapa pelaku dari setiap kasus tersebut.
Selama kesenjangan itu terjadi, maka akan semakin banyak konflik yang akan tetap membakar masyarakat di Papua. Apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak akan benar-benar memadamkan konflik yang terjadi. Justru sebaliknya, menurut kami masyarakat akan menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut adalah sebagai akal-akalan mereka saja.
Untuk itu, kami harap sebaiknya hal ini mendorong pemerintah maupun pihak-pihak yang terkait lainnya untuk mengupayakan solusi yang komprehensif dengan melakukan pembangunan secara intensif dan berkesinambungan di tanah Papua tersebut, kondisi ini bisa dijaga oleh pemerintah setempat dan pemangku kepentingan dengan cara bersinergi atau berkomunikasi dengan cukup baik. Dengan cara seperti itu kami yakin sedikit demi sedikit konflik yang ada di bumi cendrawasih tersebut akan memudar, bahkan mungkin masyarakat akan merasakan kmakmuran perhatian dari pemerintah terhadap tempat tinggalnya.
Kami harap pemerintah dapat melaksanakan atau merealisasikan apa yang menjadi angan-angan dari kita semua khusunya kami, mengenai konflik yang terus menerus terjadi di Papua.
 
sumber : 
http://aiirm59.blogspot.com/2012/05/konflik-papua.html
http://setabasri01.blogspot.com/2012/04/konflik-konflik-vertikal-di-indonesia.html


Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...