Keanekaragaman Bangsa Indonesia & Potensi Konflik
Kata Pengantar
Puji syukur saya
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga saya dapat menyusun tugas ini dengan sebaik-baiknya. Tak lupa juga
saya ingin mengucapkan terimakasih untuk
kedua orang tua saya yang telah memberikan dukungan doa serta materiil. Makalah
ini saya buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
dengan judul “Keanekaragaman Bangsa Indonesia dan Potensi Konflik”.
Harapan saya membuat
makalah ini agar para pembaca mendapat sedikit manfaat dan mengetahui apa saja
yang belum diketahui tentang Keanekaragaman Bangsa Indonesia dan Potensi
Konflik .
Saya sangat mengharap
kritik dan saran apabila dalam makalah ini terdapat kesalahan. Saya ucapkan
terimakasih untuk para pembaca yang telah membaca makalah sederhana ini.
Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan
memiliki keberagaman suku,agama,ras,budaya dan bahasa daerah. Indonesia
meliliki lebih dari 300 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki
kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Suku bangsa
merupakan bagian dari suatu negara. Dalam setiap suku bangsa terdapat
kebudayaan yang berbeda-beda.selain itu masing-masing suku bangsa juga memiliki
norma sosial yang mengikat masyarakat di dalamnya agar taat dan melakukan
segala yang tertera didalamnya. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki
norma-norma sosial yang berbeda-beda. Dalam hal cara pandang terhadap suatu
masalah atau tingkah laku memiliki perbedaan. Ketika terjadi pertentangan antar
individu atau masyarakat yang berlatar belakang suku bangsa yang berbeda,mereka
akan mengelompok menurut asal-usul daerah dan suku bangsanya (primodialisme). Itu menyebabkan pertentangan atau ketidakseimbangan
dalam suatu Negara (disintegrasi). Secara umum, kompleksitas masyarakat majemuk tidak hanya
ditandai oleh perbedaan-perbedaan horisontal, seperti yang lazim kita jumpai
pada perbedaan suku, ras, bahasa, adat-istiadat, dan agama. Namun, juga
terdapat perbedaan vertikal, berupa capaian yang diperoleh melalui prestasi (achievement). Indikasi perbedaan-perbedaan tersebut tampak dalam strata
sosial ekonomi, posisi politik, tingkat pendidikan, kualitas pekerjaan dan
kondisi permukiman.
Sedangkan perbedaan horisontal diterima sebagai warisan, yang
diketahui kemudian bukan faktor utama dalam insiden kerusuhan sosial yang
melibatkan antarsuku. Suku tertentu bukan dilahirkan untuk memusuhi suku
lainnya. Bahkan tidak pernah terungkap dalam doktrin ajaran mana pun di
Indonesia yang secara absolut menanamkan permusuhan etnik.
Sementara itu, dari perbedaan-perbedaan vertikal, terdapat
beberapa hal yang berpotensi sebagai sumber konflik, antara lain perebutan
sumberdaya, alat-alat produksi dan akses ekonomi lainnya. Selain itu juga
benturan-benturan kepentingan kekuasaan, politik dan ideologi, serta perluasan
batas-batas identitas sosial budaya dari sekelompok etnik. Untuk menghindari
diperlukan adanya konsolidasi antar masyarakat yang mengalami perbedaan. Tetapi
tidak semua bisa teratasi hanya dengan hal tersebut. Untuk menuju integritas
nasional yaitu keseimbangan antar suku bangsa diperlukan toleransi antar
masyarakat yang berbeda asal-usul kedaerahan. Selain itu faktor sejarah lah
yang mempersatukan ratusan suku bangsa ini. Mereka merasa mempunyai nasib dan
kenyataan yang sama di masa lalu. Kita mempunyai semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Yaitu walaupun memiliki banyak perbedaan,tetapi memiliki tujuan hidup yang
sama. Selain itu, pancasila sebagai idiologi yang menjadi poros dan tujuan
bersama untuk menuju integrasi,kedaulatan dan kemakmuran bersama.
PEMBAHASAN
Konflik Papua
Akar konflik vertikal Papua relatif mirip Aceh, terutama karakter diametralnya dengan pemerintah pusat. Papua masuk ke
wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963 berdasarkan kesepakatan yang
ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda di New York
pada 15 Agustus 1962. Kedaulatan Indonesia atas Papua kembali ditegaskan
lewat Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang berlangsung pada
Juli-Agustus 1969. Sejak saat itu Papua terus dilanda gejolak
separatisme hingga kini.
Jika di Aceh ada GAM, maka di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri tahun 1964. Manuver awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala
Indonesia tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktitivitas umum
OPM adalah manuver-manuver sporadis untuk menyerang pos-pos polisi dan
tentara, sabotase sarana vital dan strategis seperti Freeport, menyerang
transmigran, atau penghasutan massa. Esther Heidbuchel menyebutkan,
konflik Papua dapat dirunut kepada faktor-faktor berikut :
- Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah diadakan Indonesia tatkala mengambil alih Papua dari Belanda,
- Pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang dilakukan pasukan Indonesia, utamanya dalam penegakkan hukum atas mereka,
- Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat asli Papua. Ini termasuk marginalisasi sosial ekonomi mereka serta terbentuknya stereotip yang mendiskreditkan orang Papua.
Dalam perkembangan kemudian, masih
menurut Heidbuchel, tersedia tiga jalan yang penyelesaian konflik. Jalan
pertama adalah Merdeka, yang dimotori OPM. Komposisi mereka yang pro
kemerdekaan terdiri atas rakyat biasa berpendidikan rendah, OPM, dan
sebagian kecil elit terdidik Papua. Jalan kedua, pro Indonesia yang kini
menduduki status quo. Kelompok ini didukung kaum migran (orang-orang
dari luar Papua) yang menetap di Papua, sebagian elit terdidik Papua,
dan sebagian elit pemerintah pusat. Jalan ketiga adalah Otonomi Khusus,
yang didukung mayoritas elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat,
komunitas-komunitas agama, dan LSM.
Jalan ketiga, Otonomi Khusus, secara
formal disepakati lewat terbitnya Undang-undang Nonmor 21 tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Papua yang diundangkan Presiden Megawati
Soekarnoputri tanggal 21 Nopember 2001. Namun, kesulitan utamanya adalah
realisasi amanat undang-undang ke dalam dunia nyata. Kendati punya sumber daya alam yang melimpah, Provinsi Papua tercatat
sebagai provinsi termiskin di Indonesia: Alamnya kaya tetapi mayoritas
penduduk aslinya miskin, bahkan sangat miskin.
Ans Gregory da Iry merilis hasil
penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang selama
beberapa tahun mengadakan riset atas konflik Papua. Tim peneliti merangkum empat hal pokok yang harus dipikirkan oleh
pemerintah pusat di Papua. Pertama, marginalisasi ekonomi dan tindakan
diskriminatif dalam pembangunan ekonomi terhadap orang asli Papua sejak
tahun 1970, yang hasilnya membuat mereka kalah bersaing dengan
pendatang. Kedua, pemerintah kurang berhasil melakukan pembangunan
Papua, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan
ekonomi rakyat. Ketiga, belum ada kesamaan paradigma seputar sejarah
integrasi Papua ke dalam Indonesia. Keempat, belum adanya rekonsiliasi
serta pertanggungjawaban formal dalam kasus-kasus kekerasan atas
masyarakat Papua oleh negara di masa lalu.
Pembangunan yang timpang adalah
salah satu variabel kunci yang membuat Papua terus bergolak. Padahal, UU
Otonomi Khusus secara obyektif membuka ruang besar bagi rakyat Papua
untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi daerahnya. Banyak
kalangan di Papua menghendaki proses pembangunan yang memberi peran
besar pada empat pilar kepemimpinan lokal yang terdiri atas: Pemerintah
lokal, pemimpin adat, pemimpin agama, dan kaum perempuan. Komisi yang khusus menyelidiki proses penyelesaian konflik Papua
bentukan pemerintah dan masyarakat sampai pada kesimpulan bahwa kunci
bagi perdamaian dan kemajuan di Papua adalah penerapan secepatnya UU
Otonomi Khusus Papua No. 21 tahun 2001.
Penyebab lainnya adalah:
Konflik Papua memiliki satu hal
unik, yang membedakannya dengan konflik-konflik lokal lain di Indonesia.
Keunikan ini adalah adanya nasionalisme Papua yang telah tertanam di dalam diri
rakyat Papua selama puluhan tahun. Rasa nasionalisme tersebutlah yang mendorong
rakyat Papua membenci adanya penjajahan terhadap mereka, baik yang dilakukan
Belanda maupun Indonesia.
Nasionalisme Papua yang mulai
ditanamkan oleh Belanda ketika didirikan sekolah pamong praja di Holandia,
tertanam serta tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Ketika Belanda dan
Indonesia bukanlah pihak yang diharapkan, rakyat Papua melihat keduanya sebagai
bangsa yang hendak menguasai Papua. Pemikiran ini yang menyebabkan gerakan
anti-Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua. Kebijakan represif pada
masa Orde Baru tidak mampu memadamkan nasionalisme ini, namun justru
memperkuatnya.
Sejarah Konflik Papua
1960
- 2000
- 1966-67: pemboman udara Pegunungan Arfak
- 1967: Operasi Tumpas (penghapusan operasi). 1.500 diduga tewas di Ayamaru, Teminabuan dan Inanuatan.
- Mei 1970: Pembantaian perempuan dan anak-anak oleh tentara Indonesia. Saksi melaporkan melihat seorang wanita memusnahkan, membedah bayinya di tempat dan pak bibi bayi-diperkosa.
- Jun 1971: Bapak Henk de Mari melaporkan bahwa 55 orang dari dua desa di Biak Utara dipaksa untuk menggali kuburan mereka sendiri sebelum ditembak
- Mei 1978: Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk menyelamatkan desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai mati dengan batang besi panas merah dan tubuh mereka dilemparkan ke dalam lubang jamban. 125 penduduk desa maka mesin ditembak sebagai simpatisan OPM dicurigai.
- pertengahan 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel, termasuk 115 dari desa-desa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan 24/6/1985, 10 orang, desa, taman makanan, dan ternak desa Epomani, Obano Sub-distrik; 15 orang, desa, dan ternak dari kabupaten desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman makanan, dan hidup-stok Monemane. Dsb.
2000
- 2010
- Pada tanggal 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang pada sekelompok profesor dari Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya luka-luka. Polisi menuduh OPM bertanggung jawab.
- Pada tanggal 1 Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera separatis, beberapa tindakan lain telah terjadi 42 orang ditangkap.
- Pada tanggal 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura menewaskan 5 orang dan beberapa orang terluka. Sementara itu, sekitar 500 militan menyerang sebuah pos polisi dengan busur dan anak panah dan bom bensin.. Polisi bereaksi dan membunuh seseorang.
- Pada 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi penambang PT Freeport McMoran. Sembilan orang terluka, OPM menyangkal Tanggung Jawab.
Dampak dari
konflik Papua
Di Papua,
masalah separatisme akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Bila situasi
keamanan terus memburuk, banyak pengamat yang memperkirakan Papua bakal lepas
dari NKRI. Tanda-tanda Papua akan segera lepas dari NKRI sudah sangat jelas.
Mereka saat ini ditengarai sudah memiliki sponsor yang siap mendukung
kemerdekaan wilayah di timur Indonesia ini, bahkan Papua saat ini sudah sangat
siap untuk lepas dari Indonesia.
Maraknya aksi
penembakan dan penghadangan oleh kelompok separatis Papua telah meresahkan
masyarakat Papua. Sasaran tembak kini tidak hanya kepada aparat TNI dan Polisi,
namun masyarakat umum serta karyawan Freeport kini dijadikan target. Sehingga
tak mengherankan bila hampir tiap hari terjadi penghadangan dan penembakan oleh
orang tak dikenal yang diyakini banyak orang adalah separatis Papua.
Penyebab
separatisme Papua yang lain adalah tidak meratanya distribusi sumber daya
ekonomi, sehingga meskipun Papua memiliki kekayaan yang luarbiasa, rakyatnya
tetap miskin. Tambang tembaga raksasa Freeport adalah sebuah contoh bagaimana
kapitalisme mengeksploitasi sumber daya lokal dengan sepuas-puasnya. Potensi
konflik antar agama di Papua tinggi karena konflik yang bertikai menganggap
dirinya sebagai korban. Warga Papua asli merasa terancam dengan mengalir
masuknya pendatang baru yang mengatasnamakan agama baru, dimana dalam jangka
panjang mereka akan menghadapi diskriminasi atau bahkan pengusiran.
Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan di kedua belah
pihak masyarakat, terutama mengenai nasionalisme yang bersaing perkembangan di
Manokwari dan Kaimana mungkin menjadi pertanda lebih banyak bentrokan yang akan
terjadi. Perubahan dalam demografi adalah bagian dari persoalan, tapi bahkan
kalau besok para pendatang dari luar Papua disetop datang, polarisasi antar
agama mungkin akan terus berlanjut karena perkembangan lain. Warga Papua sangat
menyadari terjadinya penyerangan-penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah di
daerah lain di Indonesia dan melihat Indonesia secara keseluruhan bergerak
menuju dukungan yang lebih banyak kepada ajaran agama.
Upaya
Penyelesaian Konflik di Papua
Hasil eksplorasi terdapat 2
kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, yaitu :
a) Pendekatan
Kekerasan
Pendekatan kekerasan dilakukan
dengan menggunakan kekuatan senjata atau sering dikenal dengan istilah
pendekatan keamanan dilakukan oleh militer atau ABRI untuk menumpas setiap
bentuk perlawanan masyarakat yang dianggap sebagai pemberontakan OPM di Papua
yang dimulai sejak awal pemberontakan tahun 1970 sampai sekitar tahun 1996. Kegiatan
itu dilakukan dengan menetapkan sebagian kawasan Papua, terutama di daerah perbatasan
dengan Negara Papua New Guinea, sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
b) Pendekatan
Non kekerasan
Sejak Papua masuk dalam wilayah
Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka kegiatan utama yang menjadi
tugas pokok dari semua petugas Indonesia Papua menggantikan posisi petugas
Belanda adalah “meng-Indonesiakan” orang-orang Papua. Aktivitas ini dilakukan
oleh lembaga pemerintah seperti lembaga pendidikan dan lembaga penerangan. Tema
yang digunakan adalah menyatakan bahwa Indonesia, termasuk Papua dijajah oleh
Belanda selama lebih dari 350 tahun. Masa penjajahan itu membuat rakyat Papua
seperti halnya rakyat Indonesia lainnya, miskin, tertindas, dan melarat.
Akan tetapi dalam kenyataannya
kedua kebijakan pemerintah dalam upaya menyelesaikan konflik kekerasan yang
terjadi di Papua tersebut berjalan tidak efektif atau tidak berhasil. Untuk itu
ada beberapa-beberapa hal yang seyogiyanya dilakukan oleh pemerintah :
1. Hindari untuk
mendukung kegiatan-kegiatan berbasis agama yang jelas-jelas memiliki agenda
politik, sehingga tidak memperburuk persoalan yang sudah ada, dan
menginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan bahwa para personil yang
bertugas di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah satu pihak.
2. Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk
menangani ketegangan antar agama di tingkat akar rumput, lebih dari sekedar
kampanye dialog antar agama diantara para elit yang seringkali tidak efektif.
3. Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan
pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan agama dilakukan secara transparan dan
diaudit secara independen, dimana informasi mengenai jumlah dan para penerima
dana bisa dilihat dengan mudah di situs-situs atau di dokumen publik.
4. Menghindari mendanai kelompok-kelompok yang menyerukan
eksklusivitas atau permusuhan terhadap agama lain.
5. Memastikan debat publik mengenai persentase lapangan
kerja bagi warga asli Papua dan dan dampak lebih jauh dari imigrasi penduduk
dari luar Papua ke Papua sebelum menyetujui pembagian daerah administratif
lebih lanjut.
6. Menolak
peraturan daerah yang diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang
memarjinalisasikan orang papua.
7. Ketujuh, Pemerintah harus memenuhi dan menjamin
terpenuhinya hak-hak dasar orang papua seperti kesehatan, pendidikan,
kesejahteraaan dan pelayanan publik.
8. Pemerintah memfasilitasi dialog antar ummat beragama
bersama rakyat Papua agar terciptanya saling percaya antara Pemerintah Pusat
dan Warga Papua. Kesembilan, Pemerintah harus mengakui secara jujur bahwa
selama ini bertindak dengan salah dalam mengatasi konflik yang ada di Papua
demi terciptanya rekonsiliasi.
Secara teoritis, dikenal 3
sarana upaya penyelesaian konflik, yaitu : Pertama, Konsiliasi,
umumnya dilakukan melalui lembaga legislatif atau parlemen yang bermaksud
memberikan kesempatan kepada semua pihak yang terlibat konflik untuk berdiskusi
atau memperdebatkan secara terbuka masalah yang terjadi dalam konteks mencapai
kesepakatan atau kompromi bersama. Kedua, Mediasi mengajak
atau mendorong kepada para pihak yang terlibat untuk kesepakatan melalui
nasihat dari pihak ketiga yang disetujui. serta Ketiga,
Arbitran, para pihak yang terlibat bersepakat untuk mendapatkan menunjuk wasit
penilai untuk memberikan keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar
dari konflik.
Jika dilihat dari aspek
substansi, terdapat 4 cara atau pendekatan yang sering ditempuh oleh para pihak
dalam proses penyelesaian konflik, yaitu : Pertama,
Penghindaran, yaitu penyelesaian yang diharapkan timbul dengan sendirinya. Kedua, Kekuasaan. yaitu penyelesaian
melalui cara paksa atau dengan penggunaan kekuatan bersenjata oleh institusi
militer. Ketiga, Hukum, yaitu
penyelesaian konflik melalui proses arbritase, pencarian fakta yang mengikat,
proses legislasi, dan pembuatan kebijakan pejabat publik, serta Keempat, kesepakatan, yaitu
penyelesaian oleh para pihak melalui proses negosiasi, mediasi, dan konsiliasi.
Bentuk konflik di Papua
1.Konflik
kelas social, karena konflik yang terjadi di Papua salah satunya terjadi akibat
adanya kesenjangan social dan budaya yang ada di masyarakat Papua
2.Konflik
Rasial. Paling banyak penyebab konflik di Papua adalah karena terjadinya salah
paham atau penghasutan antar suku yang ada di daerah Papua
3. Konflik
politik, konflik Papua salah satunya terjadi karena menyangkut dengan
diskriminasi atau penggolongan-penggolongan antara rakyat biasa yang ada di
Papua dengan imigran-imigran serta pejabat-pejabat pemerintah dan juga kaum
elit politik.
Argumentasi Terhadap Konflik Papua
Dari semua referensi dan
catatan-catatan tentang masalah-masalah konflik yang terjadi di Tanah Papua
dahulu hingga sekarang ini, kami dapat memahami latar belakang serta faktor
penyebab terjadinya berbagai konflik kekerasan di tanah Papua. Umumnya
kekerasan di Papua terkait dengan konflik antar warga dengan suku, separatisme,
dan kriminalitas. Proses dan hasil pembangunan di Papua selama otonomi khusus
belum dirasakan sepenuhnya oleh orang asli Papua, terutama di wilayah
pedalaman. Sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan dan
terpinggirkan. Bahkan kondisi pembangunan Papua masih
kalah jauh dengan kota-kota kelas dua di wilayah Pulau Jawa.Warga Papua
merasa tidak dihargai dan diabaikan.
Selain itu,
minimnya sarana dan prasarana publik di daerah-daerah di Papua dan Papua Barat,
kelaparan dan kondisi kurang gizi di daerah-daerah di Papua, serta rendahnya
tingkat pendidikan di wilayah Indonesia bagian timur itu merupakan
faktor-faktor yang berpotensi menimbulkan konflik.
Tetapi di sisi lain
penyebab konflik di Papua, OPM dan sejenisnya adalah sebagai salah satu penyebab konflik tsb. Tujuan mereka
dalah menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat dan daerah serta pihak
internasional bahwa Papua selalu tidak aman karena adanya OPM, ini jelas-jelas
bertujuan menggagalkan ide dan keinginan luhur orang asli Papua untuk berdialog
atau berdiskusi dengan pemerintah Indonesia dalam waktu dekat.
Selain itu, banyaknya
peristiwa kekrasan dan konflik yang ada di Papua menandakan bahwa institusi
kepolisian yang ada di Tanah Papua beserta jajaran Polres-nya di seluruh tanah
papua seringkali tidak mampu mengungkapkan kasus-kasus kekerasan bersenjata yang
terjadi di Papua tersebut. Di tambah lagi polisi di daerah ini susah sekali
mendapatkan barang bukti yang bisa menjadi petunjuk penting dalam mengungkapkan
sebab dan siapa pelaku dari setiap kasus tersebut.
Selama
kesenjangan itu terjadi, maka akan semakin banyak konflik yang akan tetap
membakar masyarakat di Papua. Apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak
akan benar-benar memadamkan konflik yang terjadi. Justru sebaliknya, menurut
kami masyarakat akan menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut adalah
sebagai akal-akalan mereka saja.
Untuk itu, kami harap sebaiknya hal ini mendorong pemerintah maupun pihak-pihak yang
terkait lainnya untuk mengupayakan solusi yang komprehensif dengan melakukan
pembangunan secara intensif dan berkesinambungan di tanah Papua tersebut,
kondisi ini bisa dijaga oleh pemerintah setempat dan pemangku kepentingan dengan
cara bersinergi atau berkomunikasi dengan cukup baik. Dengan cara seperti itu
kami yakin sedikit demi sedikit konflik yang ada di bumi cendrawasih tersebut
akan memudar, bahkan mungkin masyarakat akan merasakan kmakmuran perhatian dari
pemerintah terhadap tempat tinggalnya.
Kami harap pemerintah dapat melaksanakan atau
merealisasikan apa yang menjadi angan-angan dari kita semua khusunya kami,
mengenai konflik yang terus menerus terjadi di Papua.
sumber :
http://aiirm59.blogspot.com/2012/05/konflik-papua.html
http://setabasri01.blogspot.com/2012/04/konflik-konflik-vertikal-di-indonesia.html
Share
Tidak ada komentar:
Posting Komentar